Keutamaan Rasa Khauf dan Raja ; dan manakah yang harus diutamakan?


Oleh : Syakrul Mutawahisy
            Kutamaan segala sesuatu tergantung urgensinya dalam mencari kebahagian untuk berjumpa kepada Allah dan bertaqarrub kepada Allah, jika sesuatu hal akan tercapai disebabkan akan hal itu, maka itulah hal yang utama.
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabnya ada dua surga.
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabnya.
عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah[1]
Jika ada yang bertanya : “Mana yang lebih utama, khauf atau raja. Ada juga pertanyaan serupa,Mana yang lebih utama air ataukah roti ?
            Maka jawabanya, “Bisa jadi roti dan juga bisa jadi air, tergantung mana yang dibutuhkan. Roti bagi orang yang sedang kelaparan adalah lebih utama, dan air juga dapat menjadi lebih utama bagi orang yang kehausan. Jika meresa lapar dan haus, maka harus dilihat mana yang lebih dominan. Jika sama, maka diberikan dengan takaran yang sama. Maka keutamaan keduanya adalah tergantung pada penyakit yang menjangkit.
Jika yang lebih banyak menguasai hati adalah merasa aman dari tipu daya Allah Ta’la, maka rasa khauf adalah yang lebih baik. Jika yang menguasai hati adalah suatu rasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala maka raja lebih utama. Secara menyeluruh khauf lebih utama, seperti halnya roti lebih utama dibandingkan obat pucat, sebab roti mengobati rasa lapar sedangkan obat hanya menghilangkan pucat. Sakit lapar jelas, sehingga kebutuhan roti lebih jelas. Jika dibandingkan hal ini, maka rasa khauf lebih utama, sebab kedurhakaan lebih banyak menguasai hati manusia.
            Namun, jika kita melihat topik rasa khauf dan raja’, maka harapan lebih utama. Sebab harapan diambil dari lautan rahmat, sedangkan rasa takut diambilkan dari lautan kemurkaan. Bagi orang yang bertakwa, maka yang lebih utama baginya adalah menyeimbangkan rasa takut dan harapan. Oleh karena itu, dikatakan, “Andaikata rasa takut orang mukmin dan harapanya ditimbang, tentu akan berimbang.
            Di antara salaf ada yang berkata, “Andaikata diserukan, ‘Hendaklah setiap manusia masuk ke dalam Surga kecuali satu orang saja, maka aku takut bahwa akulah orang yang satu itu, jika diserukan, “Hendaklah setiap orang masuk ke Neraka kecuali satu orang saja, maka aku berharap bahwa akulah yang satu orang itu. Dan yang demikian ini hanya khusus bagi orang mukmin yang bertakwa.”
            Jika ada yang bertanya, “Bagaimana menyeimbangkan rasa takut dan harapan di dalam hati orang mukmin, sementara ia diambang takwa? Apakah harapannya harus lebih kuat?”
            Jawabanya : “Orang mukmin itu yakin dengan keabsahan amalnya. Perumpamaan dirinya seperti orang yang menyemai benih disuatu area tanah yang belum pernah dicobanya. Benih di sini adalah iman, sedangkan syarat-syarat keabsahannya sangat lembut. Tanah-tanah itu adalah hati. Di sana ada titik yang ternoda, berupa kemunafikan. Di sana ada akhlak-akhlak yang tersembunyi. Di sana ada keguncangan aqidah. Semua itu membutuhkan rasa takut. Lalu bagaimana mungkin orang mukmin tidak merasa takut?
            Inilah Umar bin al-Khattab yang bertanya kepada Hudzaifah bin al-Yaman, ”Apakah aku termasuk orang munafik?” Umar benar-benar merasa takut kalau-kalau keadaanya tercampuri sifat orang munafik dan dia tidak mengetahui aib dirinya. Rasa takut yang terpuji adalah yang dapat membangkitkan amal dan menggelisahkan dunia jika cenderung kepada dunia.
            Tetapi, jika ajal sudah dekat. Yang lebih baik bagi manusia adalah harapan. Sebab rasa takut itu ibarat cambuk yang membangkitkan amal. Padahal dia sudah tidak bisa beramal lagi. Orang takut pada saat-saat menjelang ajal ini tidak ada yang bisa diperbuatannya, kecuali memotong gantungan-gantungan hati. Harapan dalam keadaan seperti ini dapat menguatkan hati dan membuatnya mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak selayaknya seorang meinggalkan dunia melainkan dalam keadaaan mencintai Allah, merasa senang bersua dengan-Nya dan berbaik sangka kepada-Nya.
            Sulaiman at-Taimi berkata kepada orang-orang yang menjenguknya sebelum ajal menjemputnya, Berceritalah kepadaku tentang berbagai macam Rukhsah, agar aku dapat bersua dengan Allah dalam keadaan berbaik sangka padanya!

Obat Yang Membangkitkan Rasa Takut
            Menggugah rasa khauf bisa ditempuh dengan dua acara, yang satu lebih tinggi dari pada yang lain. Sebagai contoh seorang anak kecil sedang berada di dalam rumah sendirian. Lalu tiba-tiba binatang buas atau ular masuk. Boleh jadi anak itu tidak takut, bahkan dia menjulurkan tangannya, tetapi jika di sisi anak itu terdapat ayahnya, lalu ayahnya itu lari takut, tentu anak itu pun akan lari dan takut pula. Anak takut karena ayahnya juga takut. Ayah takut karena berdasarkan pengetahuan, sedangkan anaknya tanpa dilandasi pengetahuan, tetapi hanya sekadar ikut-ikutan ayahnya.
            Jika engkau memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa takut kepada Allah itu ada dua macam:
            Pertama: Takut kepada azab-Nya
Ini merupakan rasa takut secara menyeluruh yang menghinggapi manusia. Yang dengan iman ia bisa masuk surga atau neraka, sebagai ganjaran dari ketaatan dan kedurhakaannya. Rasa takut ini akan melemah karena iman yang juga melemah atau kelalaian yang menguat. Untuk mengenyahkan kelalaian, bisa dilakukan dengan mengingat dan memikirkan akhirat, dan memperhatikan orang-orang yang takut dan bergaul bersama mereka serta mendengarkan kisah-kisah mereka.
            Kedua: Takut terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan rasa takut yang dimiliki oleh para ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“. . .Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir : 28)
Dan Allah juga telah memperingatkan hamba-Nya agar selalu mengingat akan Diri-Nya yang Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.
 وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
"Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.( Qs. Ali Imran : 30)
Sifat-sifat ini memang menuntut rasa takut. Para ulama pun takut jika jauh dari Allah dan tidak bisa memandangnya.
            Dzun Nun berkata, “Takut neraka saat perpisahan seperti setetes air di lautan. Orang awam juga memilki sebagian dari rasa takut ini. Tetapi hanya sekadar taqlid, yang tidak ada bedanya dengan ketakutan anak kecil terhadap ular, karena ikut-ikutan ayahnya. Karena itu rasa takut ini lemah.apa pun jenis keyakinan yang bersifat taqlid (ikut-ikutan) biasanya adalah lemah,kecuali jika memang keyakinan menimbulkan keyakinan itu, entah dengan memperbanyak ketaatan atau pun menjauhi kedurhakaan. Jika seorang hamba menjadi tinggi kedudukannya karena mengetahui Allah Ta’ala, tentu saja dia akan merasa takut kepada-Nya, dan dia tidak membutuhkan obat untuk menggugah rasa takut di dalam hatinya.
            Untuk orang yang meremehkan rasa takut, untuk mengobati dirinya sendiri adalah dengan mendengarkan berbagai pengabaran dan penuturan orang-orang salaf,  memperhatikan keadaan orang-orang yang takut dan perkataan mereka, menisbatkan kedudukan mereka dengan kedudukan orang-orang yang senantiasa berharap namun lalai, lalu mendorong dirinya untuk mengikuti mereka.
            Dalam shahih Muslim disebutkan dari hadits 'Aisyah binti Thalhah dari 'Aisyah ummul Mu'minin dia berkata, "Pada suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah diundang untuk melayat jenazah seorang bayi dari kaum Anshar. Kemudian saya (Aisyah) berkata kepada beliau, 'Wahai Rasulullah! sungguh berbahagia bayi kecil ini! Ia seperti seekor burung dari sekian burung surga yang belum pernah berbuat dosa dan belum pernah ternodai oleh dosa.' Mendengar pernyataan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 'Mungkin juga tidak seperti itu wahai Aisyah. Sebenarnya Allah telah menciptakan orang-orang yang akan menjadi penghuni surga ketika mereka masih berada dalam tulang rusuk (sulbi) bapak-bapak mereka. Dan sebaliknya, Allah pun telah menciptakan orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka ketika mereka masih berada dalam tulang rusuk bapak-bapak mereka.
Wallahu A’lam!




[1] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no 1563, ia berkata: “ Hadits ini hasan gharib, dan al-Bani menshahihkannya dalam kitab al-Misykat.”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »