Kutamaan segala
sesuatu tergantung urgensinya dalam mencari kebahagian untuk berjumpa kepada Allah dan bertaqarrub kepada Allah, jika sesuatu hal akan tercapai disebabkan akan hal itu, maka itulah
hal yang utama.
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ
جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabnya ada dua surga.”
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.
Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabnya.”
عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ
مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Dua
mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka; mata yang menangis karena takut
kepada Allah dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah[1]
Jika ada yang bertanya
: “Mana
yang lebih utama, khauf atau raja. Ada
juga pertanyaan serupa, “Mana
yang lebih utama air ataukah roti ?
Maka jawabanya, “Bisa jadi roti dan juga bisa jadi air, tergantung mana yang
dibutuhkan. Roti bagi orang yang sedang kelaparan adalah lebih utama, dan air juga
dapat menjadi lebih utama bagi orang yang kehausan. Jika meresa lapar dan haus,
maka harus dilihat mana yang lebih dominan. Jika sama, maka diberikan dengan
takaran yang sama. Maka keutamaan keduanya adalah tergantung pada penyakit yang
menjangkit.
Jika yang lebih banyak menguasai hati adalah
merasa aman dari tipu daya Allah Ta’la, maka rasa khauf adalah
yang lebih baik. Jika yang menguasai hati adalah suatu rasa putus asa dari
rahmat Allah Ta’ala maka raja lebih utama. Secara menyeluruh khauf
lebih utama, seperti halnya roti lebih utama dibandingkan obat pucat, sebab
roti mengobati rasa lapar sedangkan obat hanya menghilangkan pucat. Sakit lapar
jelas, sehingga kebutuhan roti lebih jelas. Jika dibandingkan hal ini, maka
rasa khauf lebih utama, sebab kedurhakaan lebih banyak menguasai hati
manusia.
Namun,
jika kita melihat topik rasa khauf dan raja’, maka harapan lebih
utama. Sebab harapan diambil dari lautan rahmat, sedangkan rasa takut
diambilkan dari lautan kemurkaan. Bagi orang yang bertakwa, maka yang lebih
utama baginya adalah menyeimbangkan rasa takut dan harapan. Oleh karena itu,
dikatakan, “Andaikata rasa takut orang mukmin dan harapanya ditimbang, tentu akan berimbang.”
Di antara
salaf ada yang berkata, “Andaikata
diserukan, ‘Hendaklah setiap manusia masuk ke dalam Surga
kecuali satu orang saja, maka aku takut bahwa akulah orang yang satu itu, jika
diserukan, “Hendaklah setiap orang masuk ke Neraka
kecuali satu orang saja, maka
aku berharap bahwa akulah yang satu orang itu. Dan yang
demikian ini hanya khusus bagi orang mukmin yang bertakwa.”
Jika ada yang
bertanya, “Bagaimana
menyeimbangkan rasa takut dan harapan di dalam hati orang mukmin, sementara
ia diambang takwa? Apakah harapannya harus lebih kuat?”
Jawabanya : “Orang
mukmin itu yakin dengan keabsahan amalnya. Perumpamaan
dirinya seperti orang yang menyemai benih disuatu area tanah yang belum pernah
dicobanya. Benih di sini adalah
iman, sedangkan syarat-syarat keabsahannya sangat lembut. Tanah-tanah itu adalah hati. Di sana ada titik yang
ternoda, berupa kemunafikan. Di sana ada akhlak-akhlak yang tersembunyi. Di sana
ada keguncangan aqidah. Semua itu membutuhkan rasa takut. Lalu bagaimana
mungkin orang mukmin tidak merasa takut?
Inilah Umar
bin al-Khattab yang bertanya kepada Hudzaifah bin al-Yaman, ”Apakah aku
termasuk orang munafik?” Umar benar-benar merasa takut kalau-kalau keadaanya
tercampuri sifat orang munafik dan dia tidak mengetahui aib dirinya. Rasa takut yang terpuji adalah yang dapat membangkitkan amal dan
menggelisahkan dunia jika cenderung kepada dunia.
Tetapi, jika ajal
sudah dekat. Yang lebih baik bagi manusia adalah harapan.
Sebab rasa takut itu ibarat cambuk yang membangkitkan amal. Padahal dia sudah
tidak bisa beramal lagi. Orang takut pada saat-saat menjelang ajal ini tidak ada yang bisa
diperbuatannya, kecuali memotong gantungan-gantungan hati. Harapan dalam
keadaan seperti ini dapat menguatkan hati dan membuatnya mencintai Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Tidak
selayaknya seorang meinggalkan dunia melainkan dalam keadaaan mencintai Allah,
merasa senang bersua dengan-Nya dan berbaik
sangka kepada-Nya.
Sulaiman at-Taimi
berkata kepada orang-orang yang menjenguknya sebelum ajal menjemputnya, “Berceritalah
kepadaku tentang berbagai macam Rukhsah, agar aku dapat bersua dengan
Allah dalam keadaan berbaik sangka padanya!”
Obat Yang Membangkitkan Rasa Takut
Menggugah rasa khauf bisa ditempuh dengan dua acara, yang
satu lebih tinggi dari pada yang lain. Sebagai contoh seorang anak kecil sedang
berada di dalam rumah sendirian. Lalu tiba-tiba binatang buas atau ular masuk.
Boleh jadi anak itu tidak takut, bahkan dia menjulurkan
tangannya, tetapi jika di sisi
anak itu terdapat ayahnya, lalu ayahnya itu lari takut, tentu anak itu pun akan
lari dan takut pula. Anak takut karena ayahnya juga takut. Ayah takut karena
berdasarkan pengetahuan, sedangkan anaknya tanpa dilandasi pengetahuan, tetapi
hanya sekadar ikut-ikutan ayahnya.
Jika engkau
memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa takut kepada Allah
itu ada dua macam:
Pertama: Takut
kepada azab-Nya
Ini merupakan rasa takut secara menyeluruh yang menghinggapi manusia. Yang dengan iman ia bisa masuk surga atau
neraka, sebagai ganjaran dari ketaatan dan kedurhakaannya. Rasa takut ini akan melemah karena iman yang
juga melemah atau kelalaian yang menguat. Untuk mengenyahkan kelalaian, bisa
dilakukan dengan mengingat dan memikirkan akhirat, dan memperhatikan
orang-orang yang takut dan bergaul bersama mereka serta mendengarkan
kisah-kisah mereka.
Kedua: Takut terhadap
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan rasa takut yang dimiliki oleh para
ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“. . .Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 28)
Dan Allah juga telah memperingatkan hamba-Nya agar selalu
mengingat akan Diri-Nya yang Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
"Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” ( Qs. Ali Imran : 30)
Sifat-sifat ini memang menuntut rasa takut. Para ulama pun takut jika jauh dari Allah dan tidak bisa memandangnya.
Dzun Nun berkata, “Takut neraka saat perpisahan seperti setetes air di lautan. Orang awam juga memilki sebagian dari rasa
takut ini. Tetapi hanya sekadar taqlid, yang tidak ada bedanya dengan ketakutan anak kecil
terhadap ular, karena ikut-ikutan ayahnya. Karena itu rasa takut ini lemah.apa
pun jenis keyakinan yang bersifat taqlid (ikut-ikutan) biasanya adalah
lemah,kecuali jika memang keyakinan menimbulkan keyakinan itu, entah dengan
memperbanyak ketaatan atau pun menjauhi kedurhakaan. Jika seorang hamba menjadi
tinggi kedudukannya karena mengetahui Allah Ta’ala, tentu saja dia akan merasa takut kepada-Nya, dan dia tidak membutuhkan obat untuk menggugah rasa takut di dalam
hatinya.”
Untuk
orang yang meremehkan rasa takut, untuk mengobati dirinya sendiri adalah dengan mendengarkan berbagai pengabaran dan
penuturan orang-orang salaf, memperhatikan keadaan
orang-orang yang takut dan perkataan mereka, menisbatkan kedudukan mereka
dengan kedudukan orang-orang yang senantiasa berharap namun lalai, lalu
mendorong dirinya untuk mengikuti mereka.
Dalam
shahih Muslim disebutkan dari hadits 'Aisyah binti Thalhah dari 'Aisyah ummul
Mu'minin dia berkata, "Pada suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah diundang untuk melayat jenazah seorang bayi dari kaum
Anshar. Kemudian saya (Aisyah) berkata kepada beliau, 'Wahai Rasulullah! sungguh berbahagia bayi kecil ini! Ia seperti seekor burung dari
sekian burung surga yang belum pernah berbuat dosa dan belum pernah ternodai
oleh dosa.' Mendengar pernyataan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, 'Mungkin juga tidak seperti itu wahai ‘Aisyah. Sebenarnya Allah telah menciptakan orang-orang
yang akan menjadi penghuni surga ketika mereka masih berada dalam tulang rusuk
(sulbi) bapak-bapak mereka. Dan sebaliknya, Allah pun telah menciptakan
orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka ketika mereka masih berada dalam
tulang rusuk bapak-bapak mereka.”
Wallahu A’lam!
[1] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no 1563, ia berkata: “ Hadits ini
hasan gharib, dan al-Bani menshahihkannya dalam kitab al-Misykat.”